Sajak Layu dari Getaran Sendu
Hari ini perempatan jalan
memulai harinya untuk bekerja menjadi kuli angkut, mentari memulai untuk
membuka hari gelap yang tidak akan menghembuskan pertikaian antara keruncingan,
bumi mulai menguap puas setelah merasakan hari kemarin telah terbuka menjadi
hari baru. Akupun juga akan menderapkan perjalananku dalam suatu keadaan yang
diam membisu.
“Hei, kamu, iya
kamu”
Aku merasa bahwa ada getaran
yang ingin mengajakku bertikai pada hari ini, dari semburat khayalan itu aku
berharap takkan jadi nyata.
“Kamu orang yang
selalu memendam hati semu dan hanya bisa membaca hati mereka yang sekedar
palsu”
“Kamu dimana?”
“Aku di depanmu,
waktu yang menunjukkan pukul 5 itu yang hanya bisa berdiam diri, tapi
sesungguhnya setiap detik yang kujalani, itu adalah curahan hatimu selama ini
untukku”
Suara itu adalah suara
waktuku yang selama ini hanya bisa kubuang untuk hal yang tidak pasti, seraya
suatu kecupan mesra dari langkahnya telah berkata kepadaku.
“Apakah kamu hanya bisa merasakannya? Dua hal yang hanya
bisa berikan duka, sampai kau datang dan pulang kembali pada waktu yang berbeda
sehingga itu hanya percuma, maka kau membuangku, membuang aku dengan tanpa
bersalah. Peluit hitamku telah berkata sudahlah jalan terbaikmu itu di dasaran,
tapi kau tetap saja mengelak hanya karena kau merasa bisa selalu bersama
seperti sepasang sepatu”
Aku merasa bahwa ini memang
ditujukan kepadaku, aku yang memang sudah menggali dalam akan tetap mewabah dan
mengeruk kepingannya dari pertigaan jalan ataupun perempatan jalan, namun aku
menjawab kepada waktu
“Iya, aku dan dia memang seperti sepatu, terus bersama
dan berjalan baik saat banjir melanda ataupun kekeringan tiba. Aku dan dia juga
seperti air dan hujan yang setiap hujan dapat dikatakan itulah air yang menjadi
pemeran utamanya, dan aku dan dia juga seperti air dan api yang selalu di
sejajarkan dalam dua hal paling, yaitu paling panas dan paling dingin oleh
karena itu kita saling melengkapi”
Sudah 5 menit perdebatan kata
terakhirku aku ucapkan. Namun, sepatah katapun tidak di perdengarkan olehnya
padaku.
“Mungkin kecongkakan waktu telah letih dan akhirnya dia
berbelok kejalan yang lain” pikirku.
5 jam kutunggu tapi hasilnya
hanya sebatas pengangguran. Kata-kata itu palsu dan hanya bisa membuat setiap
orang menjadi lemah karena perkataannya. Tapi aku mulai penasaran juga, kemana
perginya waktu? Meskipun aku belum pernah mengerti waktu, tapi waktu mulai
berarti di hatiku. Ahhh, tidak. Hanya dia yang berarti di setiap jiwaku.
Bukannya waktu dan bahkan bukan yang lainnya. Aku melihat gumpalan awan yang
indah di waktu ini, awan itu membentuk gambar yang setiap gambarnya memberikan
getaran rindu. Namun kemudian, hujan datang dan menghapus semua keindahan yang
terlukis pada langit itu. Aku bergumam dalam hati
“Kenapa harus hujan? Rindu itu sudah punah”
5 menit setelah itu mengambil
makanan untuk kuberi makan ikan-ikan kecilku, kuhitung ikan itu matanya 2,
siripnya 2, bibirnya 2, lubang hidungnya 2 tapi ekornya 1.aku berfikir
“Kenapa Tuhan menciptakan ekor ikan hanya 1? Sementara
yang lain tubuhnya 2. Memang di bumi ini banyak teka-teki unik yang perlu
dipermainkan, mulai dari segitiga bermuda di samudra, kemudian teka-teki
kehidupan dilapisan paling bawah galaxy, jerapah yang kesulitan menjangkau
makanan di atas tanah dan kangguru yang sulit mengambil makanan yang paling
atas sampai teka-teki takdir pada garis tangan yang memang sulit dijabarkan
meskipun dengan rumus logaritma aljabar ataupun rumus linear sekalipun”
Aku berlatih pada hal yang
selalu berjalan dan tidak pernah berhenti, itulah kaitannya pada waktu. Aku
teringat kembali pada waktu, sudah 5 hari waktu itu tidak membicarakan
perkataan pada topik kemarin. Sebuah plastik dibalut oleh kelapa, mungkin dia
malu untuk berkata. Apa tau dia soal cinta? Cinta manusia saja tidak urut,
apalagi cinta soal masalah keluarganya, ohh iyaa, keluarga sajapun dia tak
punya.
Aku menatap air dan mengajaknya berbicara
“hai air, apa kamu tidak bosan? Hanya bisa berdiam diri
dan tidak bisa merasakan terbang, kau hanya bisa berlenggak lenggok kesana
kemari saja tanpa mengetahui tujuanmu kemana”
Airpun kelihatannya mulai
memperlihatkan jawabannya
“Bosan? Kenapa aku bosan? Memang aku hanya bisa berdiam
diri disini, sehingga apabila nyawa hidup membutuhkanku aku senantiasa ada
untuknya tanpa mereka harus sibuk mencari aku kesana kemari. Memang aku tidak
bisa terbang, sehingga aku terlihat minim bakat olehmu, tapi asal kamu tahu,
apabila aku bisa terbang, mungkin aku akan terbang pffergi ketika aku di masak
oleh kalian untuk persembahan minum, mungkin aku akan terbang pergi ketika aku
digunakan untuk menyiram tanah yang busuk dipenuhi pupuk itu. Dan aku memang
hanya bisa berlenggak lenggok kesana kemari saja disini, tapi aku bahagia
karena ikan sudah menggunakanku untuk tempat hidupnya, tidak hanya ikan banyak
juga kerang, lumut, bintang laut, kepiting yang hidup untuk memilih kepadaku”
Aku terhenyak diam seribu
bahasa menggrutupun untuk apa? Si air benar, dia memang ciptaan Tuhan yang
sangat baik dan mulia.
5 hari telah berlalu kembali,
heningan waktu mulai berkata kembali terdengar ditelingaku.
“Apa kamu masih ingat denganku? Aku waktu yang selalu
kamu salahkan”
“Hei, kemana saja kamu? Dasar benda tak tahu diri, pergi
begitu saja dan tidak bertanggung jawab! Mengapa suaramu justru malah bahagia?
Apa kamu sengaja mengadakan ujian ini? Dasar waktu, benda sok tahu yang hanya
bisa berkomentar palsu”
“Sudah cukupkah cercaan kamu untukku? Sekarang dengarlah
dengan hatimu, 5 tambah 5 hari yang lalu aku menepi di puncak kedamaian,
bertekat untuk menghentikan hal berbau kesedihan, tapi perahuku karam di
pertengahan suasana dan terhantam disana. Aku bercucuran susah demi mencapai
kedamaian itu. Aku rela menyerbu piranha di gelombang cadas demi mencari impian
itu”
“Lalu apa jawabanmu? Aku tidak bertanya tentang semua
itu”
Waktu tetap meneruskan
perkataannya tanpa perduli pertanyaanku
“Setelah cobaan itu masih kutempa, ternyata aku tidak
menemukan ruasnya. Tujuan itu hanyut bersama kapalku yang karam. Baik, apabila
kamu tidak mengerti ucapanku. Akan kukatakan kepadamu kalimat-kalimat terakhir
ini. Apa kamu tidak sadar? Sepatu memang selalu bersama-sama tetapi apakah
mereka dapat bersatu? Mereka hanya dapat selalu bersama,tetapi apabila bila
disuruh bersatu, sampai kapanpun tidak akan pernah bisa. Dan apakah kamu sadar?
Bahwa air dan hujan itu sesungguhnya menandakan langit yang telah menangis, dan
ingatkah waktu kamu melihat awan terlukis kemudian 5 menit setelahnya terjadi
hujan? Kamu sebal denga rasa tidak karuan. Dan sadarkah kamu akan makna air dan
api? Air dan api memang saling melengkapi, tapi apakah dengan saling melengkapi
saja sudah cukup? Bahwa sesungguhnya api bisa pergi apabila disatukan dengan
air”
Setelah hari-hari itu waktu
usai berkata, aku selalu berfikir, kata waktu memang benar dan waktu memang
benar, ketika waktu melilit dirinya untuk pergi. Aku justru merasakan bahwa
waktu adalah suatu hal yang begitu memperdulikanku dibanding dia. aku kini
mengerti bahwa “Suatu hal yang tidak pernah dilihat dan selalu kita campakkan,
mungkin dia adalah ciptaan terbaik untuk kita”
5 hari berlalu, kini aku sadar bahwa memang bahasa cinta
adalah bahasa yang abstrak, bahasa yang hanya akan bisa dimengerti oleh mereka
yang peka dan mengenal apa itu cinta. Mereka yang menyadari hakikat cinta.
Sesungguhnya aku bisa mengerti bahwa cinta di garis tanganku selama ini adalah
waktu. Waktu yang bersahabat dengan semua hal. Rasakan ketika ku dengan dia,
dia menampis sajapun tak bisa. Apakah oersembahan ini adalah sebuah asumsi yang
dikatakan palsu oleh waktu? Aku menyesal, rakitku ketinggalan sampannya. Aku
menyesal telah membuang-buang waktu bersama dia yang hanya bisa membuat
terluka.
Jangan
mempertahankan cinta yang tak pasti yang sebenarnya kamu sudah menemukan
cintamu yang pasti
Seseorang yang
tidak kamu anggap lebih, sesungguhnya dia adalah orang yang sangat perduli
kepadamu, maka jangan pandang dia sebelah mata.