Selasa, 23 Desember 2014

lalu tuai terjal cinta

aku menatap kelabu di langit itu
melihat betapa putihnya abu di ambang rindu
penat telah terlatih
menunggui dimanakah mata dapat bicara
dengan hati yang tak kunjung tiba
mengerti mengenai apa itu nestapa
pada obralan bola disana
hidupku semakin mendung tertutup warna hitam pekat
aku tak dapat bergeming lagi
seusai pikiran iki bergerigi
menyapa gulitanya pudaran bakti ini
membelah dua dunia seguling
bersikeras memangpang wajah jemu di dinding
dinding separuh baya setengah usang
menjadi saksi bisu adanya maha raja cinta

seperti
seperti berada di tengah pulau yang tandus
tak ada perahu beserta sampannya
tak akan ada wajah merah merona lagi di pipi
karena bingung telah ditapaki
meskipun ditemani gronjalan benjolan jalanan

yang kutatap itu bau
yang kudengar itu barang
yang kurasa itu deraian
semua mustahil untuk bergantian

aku ternyata digantikan oleh pucuk ombak
karena aku hanya lambaian pendorongnya dibawah

mati rasa aku mendengar
bahwa kebingunganku ini seperti rumah honai
bulat dan tak berujung
seperti puncak sinabung
menuai gemetiran keributan pada manusia
dan telah menjadi cambukan beku dingin
untuk manusia laknat
aku tak mengerti ketika ku berbicara
cinta ini menjadi sungguh menebar keprihatinan
keluputan mencoba memelukku
dengan keserakahan manusia
termasuk aku
aku ingin menjadi buritan tak jenuh
menjadi suatu tambang yang berharga
semacam intan yang di tuai binarnya
dengan lahan yang terlentang
tapi entah pada tambang atau jenuh aku pilih
yang pasti aku manusia tak berujung
karena aku yang kurang mendengar cerita
tentang
lalu tuai terjal masa cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar